Perjuangan merebut gunung emas di Bumi Cendrawasih bukan hanya kali ini terjadi, bahkan semenjak Freeport belum menginjakkan kaki di wilayah Indonesia timur tersebut, Bung Karno telah berusaha untuk melindungi bakal aset negara untuk kesejahteraan rakyat melalui operasi Trikora untuk mengusir Belanda yang disinyalir akan dimanfaatkan Freeport dan East Borneo Company besutan Belanda. Menang-kalah pun dirasakan bangsa Indonesia mulai dari berbagai teori konspirasi pembunuhan JFK dan lengsernya Soekarno waktu itu terhadap keberadaan Freeport yang mulai menguasai Indonesia setelah Soeharto naik tahta, hingga kealotan pemerintah Indonesia di abad ke-21 untuk kembali merebut Bumi Cendrawasih melalui akuisisi saham PT. Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 51% melalui holding company BUMN, PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).Sebelum melangkah lebih jauh, perlu dipahami mengenai skema divestasi atau kontrak kerjasama Indonesia dengan Freeport McMoran Inc (FCX) dalam mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia melalui infografis berikut.
Setelah Forbes Wilson menemukan dokumen Dozy pada tahun 1959, ia meminta perusahaannya saat itu Freeport Sulphur Company yang (sekarang Freeport-McMoRan Copper and Gold Inc.) mengirimnya ke Papua Barat pada tahun 1960. Wilson begitu terpukau ketika melihat dan mengambil sampel batuan disana karena sesuai dengan prediksinya bahwa Ertsberg merupakan gunung bijih yang menonjol 180 meter di atas permukaan tanah dengan cadangan tembaga terbesar di dunia pada waktu itu.
Kedatangan Freeport di Papua
Sebelum 1965 haluan politik Indonesia sangat anti-imperialis. Bung Karno sangat bernafsu membangun fondasi ekonomi nasional yang berdiri di kaki sendiri (berdikari). Situasi tersebut tentu tidak ‘nyaman’ bagi negara-negara yang berkepentingan menancapkan kepentingan ekonominya di Indonesia, termasuk Amerika Serikat. Karena itu, sejak 1964, Amerika bersama Inggris mulai melancarkan operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Sukarno. Salah satunya dengan meruncingkan persaingan antara AD versus PKI. Mereka yakin, adanya benturan politik antara AD versus PKI akan membuka peluang untuk menggulingkan Sukarno.
Di bawah Suharto, pintu ekonomi dibuka selebar-lebarnya bagi investor asing, terutama dari barat. Banyak kebijakan yang mulai disetir oleh barat. Di tahun 1967, disahkanlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) sejajar dengan Kontrak Karya (KK) I, yang isinya sangat sesuai keinginan negara-negara barat dan investor asing. Konon, AS sampai mengerahkan tenaga ahli untuk membantu Widjoyo Nitisastro, seorang ekonom pro-barat, untuk menyusun UU tersebut. Dalam KK I tersebut melegalkan Freeport dalam mengeksploitasi Bumi Cendrawasih hingga 30 tahun kedepan hingga 2003, terhitung sejak Freeport mulai beroperasi.
Di bulan November 1965, hanya beberapa minggu setelah peristiwa G/30/S, dua eksekutif Texaco (Augustus Long dan Julius Tahija) dari Indonesia, yang punya kedekatan dengan militer Indonesia, mulai mendekati Freeport. Keduanya memberi tahu bahwa sudah tiba waktu yang tepat bagi Freeport untuk membuka negosiasi dengan para Jenderal di Jakarta terkait Ertsberg.
Freeport adalah perusahaan asing pertama yang menandatangani kontrak dengan rezim militer yang baru berkuasa di Indonesia. Setelah Freeport Sulphur, investor asing lainnya berlomba-lomba mengerubuti Indonesia. Dengan demikian, rezim Orde Baru berhasil menunaikan tugasnya: membuka pintu bagi investor asing mengeruk kekayaan Indonesia, termasuk Freeport.
Menurut Denise Leith, penulis “The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia”, Freeport dengan koneksi politiknya yang kuat sangat kuat dalam proses negosiasi, sehingga bisa mendiktekan persyaratan kontrak.
Akibatnya, banyak klausul kontrak itu yang sangat menguntungkan Freeport. Seperti dicatat Leith, Freeport dibebaskan dari kewajiban pajak selama 3 tahun atas izin 250.000 hektar wilayah tambang. Tidak ada sepeser saham pun untuk pemerintah Indonesia; tidak ada kewajiban ganti rugi atas lahan masyarakat asli Papua–terutama suku Amungme dan Kamoro–yang dirampas; dan tidak ada kewajiban perlindungan ekologi.
Indonesia Tersandera hingga 2041
Disusun ulang dari website: https://nusantara.news/dokumen-freeport-menyandera-indonesia-selamanya/
Freeport terus melakukan eksplorasi mencari cadangan baru , mengingat cadangan Ertsberg hanya cukup sampai dengan tahun 1987. Ditemukanlah cadangan Grasberg pada tahun 1988 yang melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta metrik ton. Ditemukannya cadangan baru ini membuat kesepakatan KK II dengan sosok kunci Ginandjar Kartasasmita yang saat itu menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). KK I yang sejatinya selesai dalam tempo 30 tahun, dihentikan dan diperbarui menjadi KK II pada tahun 1991 dan dapat diperpanjang 2 x 10 tahun hingga 2041.
Freeport sebenarnya telah lama mengincar Ginandjar semenjak dia menjabat Kepala BKPM (1985-1988). Melalui tangan raksasa itulah yang menempatkan Ginandjar untuk meraih jabatan yang lebih tinggi, yaitu menjadi Mentaben. Di era Orde Baru, Ginandjar telah menjadi ‘Brutus’ yang mengkhianati negara dalam kasus Freeport. Setahun setelah Ginanjar Kartasasmita diangkat menjadi Mentamben oleh Presiden Soeharto, Freeport Indonesia langsung mengajukan perpanjangan kontrak mereka pada pada tahun 1989. Freeport Indonesia lalu meminta dalam perpanjangan kontrak tersebut untuk memasukkan situs Grasberg sebagai lokasi pertambangan mereka.
Itulah awal Kontrak Karya tahun 1991 sekaligus musibah besar. Bagi Indonesia, kontrak itu sebenarnya sangat strategis untuk meraih kedaulatan dan kemakmuran dari tambang. Sebabnya, tahun 1988, Freeport menemukan cadangan senilai $40 milyar di Grasberg, sekitar 3 kilometer dari lokasi tambang lama Ertsberg yang dikuasai Freeport sejak tahun 1967 dan dieksploitasi sejak tahun 1970. Namun ada pula sumber lain menyebut cadangan Grasberg menyimpan 72 juta ounce emas murni, ditambah perak dan tembaga senilai sekitar US $ 60 miliar. Sedikitnya tiga kali lipat dari besarnya cadangan di Ertsberg.
Selaku “American Boy” (Ginandjar) yang setia pada “majikan besar” (Amerika), Ginandjar hanya bisa mengamini saja dengan embel-embel kenaikan pajak dan bagian saham lebih besar bagi pemerintah Indonesia dari 10 persen menjadi 20 persen. Freeport pun menyetujui dan kedua belah pihak menandatangani perjanjian Kontrak Karya pada 30 Desember 1991.
Dalam kasus kontrak karya dengan Freeport tahun 1991, meski diduga dibeli secara murah dari perusahaan pertambangan terbesar di dunia, namun imbalan yang diterima Ginandjar diperkirakan tak kecil jumlahnya. Tapi juga tidak akan habis hingga tujuh turunan. Apalagi, konon katanya perusahaan milik adik kandungnya, Agus Gurlaya Kartasasmita, PT Catur Yasa, pernah menang tender untuk mendirikan pembangkit listrik untuk kegiatan tambang di area Freeport. Itu mungkin salah satu imbalan dalam wujud project, belum yang lainnya.
Dengan memberikan kemudahan perpanjangan izin di tahun 1991, maka memungkinkan PT Freeport mempunyai landasan hukum mengajukan perpanjangan kontrak setiap saat hingga kini.
Maju Kena, Mundur Kena
Berdasarkan review terhadap ketentuan KK 1991 antara Freeport dan Pemerintah Indonesia, sejumlah regulasi terkait divestasi dan mencermati perkembangan yang ada saat ini, sejatinya pemerintah telah berusaha untuk benar-benar merebut kembali Bumi Cendrawasih namun terhalang oleh berbagai sebab dan dapat berakibat fatal karena selama perkembangannya, salah satu dinamika yang terjadi selama proses renegosiasi adalah munculnya ancaman dari induk usaha PTFI, yakni Freeport McMoran (FCX) di mana, COE FCX Richard Adkerson mengancam akan menggugat Pemerintah Indonesia ke arbitrase. Hal ini berkaitan dengan KK pada tahun 1991 yang terdapat perbedaan dalam menafsirkan substansi KK tersebut, terlebih terdapat hak Freeport menolak Indonesia, bahkan bisa dilakukan setiap saat. Itu lantaran mereka memiliki sebuah dokumen hukum. Dalam dokumen tersebut Freeport diberi hak secara resmi oleh negara untuk mengelola. Inilah yang membuat bangsa Indonesia tersandera oleh kejahatan masa lalu. Dokumen tersebut menyebutkan perpanjangan setiap 10 tahun dan tidak bisa ditolah selama Freeport mau. Dokumen UU yang ditandatangani dan disetujui oleh DPR bersama Ginandjar, tidak bisa dicabut karena sudah terikat sebelumnya. Di kontrak MOU itu disebutkan, meskipun UU dicabut, tapi tidak berlaku bagi Freeport.
Divestasi 51% Saham yang Fana
Berdasarkan KK yang telah diteken, terdapat dua ketentuan pengaturan persentase saham yang harus didivestasikan oleh Freeport. Jika Freeport menjual atau melakukan pencatatan saham di BEJ minimal 20 % dari modal saham yang diterbitkan, jumlah saham yang wajib didivestasikan sampai tahun keduapuluh sebesar 45 % dari modal saham yang diterbitkan. Sementara, jika Freeport tidak melakukan pencatatan di BEJ jumlah saham yang wajib didivestasikan sampai tahun keduapuluh sebesar 51 % dari modal saham yang diterbitkan. Artinya, cepat atau lambat pemerintah akan mendapatkan 51% tersebut namun pemberitaan seakan membuat prestasi bagi Indonesia dalam mengakuisisi saham PTFI melalui Rio Tinto selaku join venture semenjak cadangan Grasberg ditemukan.
Kesepakatan pembiayaan antara Freeport dan Rio Tinto yang telah disetujui Kementerian ESDM pada April 1996 menyebabkan secara de facto Rio Tinto menguasai 40 % interest PTFI dengan hak dan kewajiban yang hampir 100 % sama dengan FCX. Bahkan Rio Tinto berhak mendapatkan bagian pendapatan lebih dahulu dibandingkan Indonesia yang memegang 9,36 % saham PTFI. Kesepakatan Freeport-Rio Tinto menyebabkan hak dari pelaksanaan divestasi saham Freeport menjadi lebih kompleks. Jika Indonesia hanya mendivestasi 51 % saham murni dari Freeport, economic interest yang diperoleh hanya 31 % karena economic interest akan terdistribusi 29 % FCX, 31 % Indonesia, dan 40 % Rio Tinto. Jika Indonesia melakukan divestasi dengan kombinasi membeli saham PTFI dan interest Rio Tinto, distribusi economic interest pasca divestasi akan menjadi 51 % Indonesia dan 49 % FCX. Itulah sebabnya mengapa PT. Inalum membeli saham dari Rio Tinto sebesar 40% dengan negosiasi yang cukup alot dan mencapai kesepakatan dalam HoA sebesar $3,85 milyar.
Mengapa Tidak Tunggu Sampai 2021
Disusun ulang dari Q&A – Hadi Djuraid, Staf Khusus Menteri ESDM
https://web.facebook.com/casdira/posts/10216873245812351
Meskipun jika nantinya FCX bersedia bahwa kontrak mereka berakhir pada 2021, jika merujuk pada KK, maka ketika masa kontrak habis tahun 2021, tambang Grasberg di Mimika tidak kembali pemerintah RI secara gratis, yang gratis adalah tambangnya, sementara infrastruktur dan asetnya tidak bisa diambil gratis.
Pasal 22 ayat 1 Kontrak Karya mengatur jika perjanjian tidak diperpanjang maka semua kekayaan milik perusahaan yg bergerak atau tidak bergerak yg terdapat di wilayah proyek harus ditawarkan untuk dijual kepada pemerintah dengan harga atau nilai pasar lebih rendah dari nilai buku. Pemerintah harus membeli aset PTFI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan audited yang dilaporkan yaitu $6 milyar USD atau 81 triliun rupiah. Pemerintah juga masih harus membeli infrastruktur jaringan listrik di area penambangan yang nilainya diestimasi lebih dari Rp 2 triliun.
Di sisi lain, untuk saat ini, nilai cadangan terbukti emas yang dikelola PTFI ditaksir sebesar $41 miliar jika mengacu pada harga emas saat ini sebesar 1.267 USD/ounce. Nilai tersebut belum termasuk potensi-potensi cadangan di blok yang saat ini belum dikelola. Dengan kata lain jika menunggu kontrak berakhir dn tdk diperpanjang tahun 2021, Pemerintah RI harus keluar dana sekurangnya Rp 86 triliun. Saat ini pemerintah akan mengeluarkan uang 54 triliun ‘hanya’ untuk 51% saham PTFI. Jika membeli 100% saham PTFI dengan angka deal pemerintah saat ini, berarti nilainya sekitar 108 triliun. Itu tidak utk keseluruhan interest di tambang Grassberg, karena masih ada partisipasi interest Rio Tinto 40%. Belum lagi sisa cadangannya yg 41 milyar dolar itu masih akan terus ‘dibagi’ dengan PT FI sampai 2041. Nilainya bisa lebih dari $20 milyar yang harus ‘dibagi’ dg PTFI dan Rio Tinto. Jauh lebih rugi.
Dengan kata lain, Freeport atau tambang Grasberg tidak bisa diambil gratis pada tahun 2021. Ini soal Kontrak Karya, bukan kontrak rumah atau ngusir maling dari rumah. Area tambangnya gratis, dengan reserves $41 milyar. Kembali ke Indonesia 100%. Indonesia ‘hanya’ mengganti infrastruktur di permukaannya sebesar $6 milyar , yg nilainya jauh di bawah nilai cadangan emas-tembaga tersisa yg ada di sana. Indonesia tidak sedang ‘mengusir’ pengontrak, kita hanya memberitahu bahwa kontrak akan habis dan pemilik ingin memakainya sendiri.
Terlepas dari perbedaan penafsiran mengenai isi KK bagi pihak Indonesia dan Freeport pasal 31 ayat 2 yang dapat berujung pada arbitrase internasional, sebetulnya setelah 2021 Indonesia masih bisa mengajak PTFI mengelola Grassberg. PTFI punya kontribusi aset permukaan, Indonesia punya reserves emas. Tinggal buat kesepakatan yg win-win. Jangan lose terus buat Indonesia. Arbitrase adalah senjata andalan multinasional company untuk menekan host country. Perlu diingat, Indonesia tidak sedang ‘merebut’ hak PTFI di tengah jalan, layaknya nasionalisasi yg dilakukan Chavez di Venezuela. Indonesia sebagai tuan rumah dengan sangat baik menghormati kontrak karya sampai berjalan 50 tahun. PTFI sudah menikmati keuntungan usaha yang wajar. Tidak dirugikan sama sekali. Namun, sebagaimana perusahaan, maunya untung terus sampai 70 tahun, bila perlu nambah 20 tahun lagi menjadi 90 tahun.
Ketidakpastian operasi menjadi momok besar bagi Indonesia yang membahayakan kelangsungan tambang serta ongkos sosial ekonomi yang amat besar. Jika Indonesia kalah di arbitrase internasional, akan didenda 500 triliun rupiah, namun jika langkah Indonesia tegas dan posisi jelas sejak awal, tidak ada ketidakpastian operasi. Yang membuat keputusan strategis menjadi lama karena biasanya banyak kepentingan yg bermain. Ini sesungguhnya yang paling menyebabkan ketidakpastian iklim investasi: tata kelola pemerintahan yg buruk.
Mengusir Maling Pakai Duit
Membeli 51% saham PTFI saat ini jelas win-lose. Win bagi PTFI dan lose bagi Indonesia. Membiarkan KK sampai 2021, lalu Grassberg kita kelola dengan mengajak PTFI adalah solusi win-win yang sebenarnya. Paling maksimal, untuk transisi alih kelola, Indonsia bisa farm-in 10-15%, dengan menempatkan personil kunci di organisasi utk persiapan alih kelola, selayaknya blok milik British Petroleum (BP) yang diambil alih oleh Pertamina ONJW.
Perlu diingat bahwa nilai $3,85 milyar itu hanya utk 51% saham PTFI. Nilai 100% sahamnya berarti $7,7 milyar dolar. Itu pun belum keseluruhan penguasaan tambang Grassberg. Jelas jauh lebih mahal dari $6 milyar yg baru akan Indonesia keluarkan 4 tahun lagi (Jika Indonesia menghentikan kontrak pada 2021) untuk membayar instalasi permukaan PTFI, lalu 100% reserves emasnya Indonesia nikmati sendiri. Itu belum memperhitungkan time value of money.
Namun perlu diingat juga bahwa divestasi 51% saham akan mengakhiri rezim KK dan menggantinya dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesuai yang diamanatkan pada UU Nomor 4 Tahun 2009. Pemerintah lewat PT. Inalum menguasai mayoritas saham PTFI dengan konsekuensi PTFI akan membangun smelter dalam 5 tahun dan penerimaan pemerintah lebih tinggi. Sayangnya, apa yang diteken dalam kontrak ini merupakan wacana berkepanjangan sejak UU tersebut berlaku yang mewajibkan perusahaan tambang mengolahnya terlebih dahulu sebelum dieskpor. Jika UU itu terbit dan berlaku dari 2009, seharusnya PTFI harus sudah mengolah konsentratnya pada Tahun 2014 dan jauh sebelum itu, pada KK V 1986 sejatinya Freeport sudah harus bertanggung jawab dalam pembangunan smelter.
Peran Aktif
Sebagai masyarakat yang sarat akan informasi di dunia maya sehingga tidak kurang-kurangnya informasi, sejatinya kita memiliki peran untuk mengawasi dan mengawal jalannya kebijakan pemerintah. Jangan sampai uang $3,85 milyar yang disokong oleh 11 bank asing maupun dalam negeri tersebut menjadi bumerang seperti yang dialami Indonesia pada negosiasi masa lalu yang saat itu Indonesia dijanjikan 20% nilai divestasi saham namun hanya dapat membeli 10% karena kondisi keuangan waktu itu sehingga sisanya dibeli oleh swasta nasional. Pelepasan saham kepada swasta nasional telah dilakukan oleh Freeport. Namun, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 yang keluar pada periode kabinet berikutnya, saham milik swasta itu dibeli kembali oleh Dreeport. Hingga kini saham milik Indonesia di Freeport kembali menjadi 10 persen, yaitu milik pemerintah. Selain itu, menurut penulis pribadi, kesepakatan ini sarat akan kepentingan politik menjelang pemilihan presiden tahun 2019. wallahu a’lam.
Sumber dan Referensi
Generasi, K. K.; Fi, P. T.; Karya, K.; dan Indonesia, P. T. F., “Kronologis Kontrak Karya di Indonesia dan Usaha Pertambangan PT Freeport Indonesia (PT FI)*) Ukar W. Soelistijo”, (n.d.), 1–15.
Leith, D.; The, S.; Pacific, C.; Spring, N.; dan Leith, D., “Freeport and the Suharto Regime , 1965 — 1998 Freeport”, 14 (2015), 69–100.
PT Freeport Indonesia, Dari Hulu Hingga ke Hilir: Edisi khusus, 2014.
Ginandjar Kartasasmita, Memahami Kontrak dan Divestasi Freeport, Kolom Opini Kompas 14 Juli 2018.
https://nusantara.news/dokumen-freeport-menyandera-indonesia-selamanya/
https://petrominer.com/catatan-terhadap-divestasi-saham-freeport-indonesia/
https://petrominer.com/catatan-terhadap-divestasi-saham-freeport-indonesia/
Luca Cada Lora. Regenerative Journal is my personal blog covering energy, tech, sustainability and its public policy. Follow @lucaxyzz on Twitter